Category
ACCOUNTING
(1)
AUTOMOTIVE
(4)
COMPUTER
(82)
EBOOK
(1)
ELECTRONICS
(5)
ENVIRONMENT
(1)
FINANCIAL
(1)
HEALTH
(265)
INFO
(6)
LAW
(1)
MANAGEMENT
(8)
MOBILE DEVICES
(14)
MORAL STORIES
(62)
NETWORK
(2)
OTHERS
(24)
PHILOSOPHY
(1)
PSYCHOLOGY
(19)
SCIENCE
(6)
Search This Blog
Friday, July 2, 2010
Trading Places
Friday, February 12th, 2010
oleh : Arfan Pradiansyah
Dua kakak-adik bersama-sama mengelola sebuah ladang dan penggilingan. Setiap malam mereka membagi butir-butir padi untuk digiling esok siang. Yang seorang hidup sendiri, yang satunya menikah dan dikaruniai banyak anak.
Suatu hari pria yang hidup sendiri itu berkata dalam hati, “Tidak adil kalau butir padinya dibagi rata. Aku hidup sendiri sedangkan saudaraku punya banyak anak yang harus diberi makan.” Maka, setiap malam ia diam-diam mengambil sekarung padi bagiannya dan meletakkan di lumbung saudaranya.
Ternyata pria yang menikah juga memikirkan situasi saudaranya dan berkata dalam hati, “Tidak adil kalau kami membagi butir padi sama rata. Aku punya anak-anak yang akan mengurus diriku kalau aku sudah tua. Bagaimana dengan dia?” Maka setiap malam ia diam-diam mengambil sekarung padi dari lumbung miliknya, dan meletakkan di lumbung saudaranya.
Suatu malam mereka berpapasan di jalan antara dua rumah mereka. Dan tiba-tiba mereka menyadari apa yang selama ini terjadi. Mereka baru menyadari mengapa selama ini persediaan butir padi mereka tidak pernah berkurang. Mereka pun berpelukan dengan penuh kasih sayang.
Pembaca yang budiman, betapa indahnya dunia ini kalau kita bisa saling menghayati apa yang dibutuhkan orang lain. Bukankah berbagai masalah yang kita hadapi dalam hidup ini sesungguhnya bersumber dari ketidakmampuan kita untuk saling bertukar tempat (trading places) dan melihat segala sesuatu dari kacamata orang lain?
Bertukar tempat sesungguhnya merupakan rahasia kesuksesan yang terbesar. Orang yang mampu bertukar tempat mampu membaca pikiran orang lain. Ia berusaha mendengar dari telinga orang lain dan melihat dari mata orang lain. Ini tentu saja membuatnya mampu berkomunikasi dengan siapa saja. Bukan itu saja, bertukar tempat juga merupakan rahasia kebahagiaan (happiness) yang terbesar. Kemampuan bertukar tempat akan melahirkan rasa kasih yang luar biasa. Dan bukankah kasih sejatinya merupakan inti kebahagiaan?
Kalau semua orang di dunia ini mampu bertukar tempat, tentu tidak akan ada lagi kejahatan, kesedihan, kekecewaan, keburukan. Dunia juga akan bersih dari pembunuhan dan peperangan. Bagaimana mungkin Bush (ketika menjadi Presiden Amerika Serikat) bisa memerangi orang lain, membuat mereka cacat dan kehilangan keluarga yang mereka cintai, bila ia bisa membayangkan dirinya sendiri yang menjadi cacat atau kehilangan anak yang sangat ia cintai?
Namun bertukar tempat ternyata tidak semudah yang dikatakan. Ada lima alasan yang membuat bertukar tempat itu sulit. Pertama, karena pada dasarnya kita mementingkan diri sendiri. Mementingkan diri sendiri memang menjadi fitrah kita dan merupakan tahap perkembangan manusia yang paling awal. Tanpa mementingkan diri sendiri kita akan punah dari kehidupan. Namun berada pada fase ini membuat kita tidak berbeda dari seorang anak kecil yang bila meminta sesuatu mengharuskan orang tuanya untuk memenuhi kebutuhan dia saat itu juga. Seorang anak kecil belum mampu memahami bahwa orang tuanya saat ini sedang sangat sibuk. Berada dalam fase ini selamanya juga akan membuat kita tak ada bedanya dari hewan. Tahap pendewasaan seseorang sebenarnya ditandai dengan kemampuan bertukar tempat dan merasakan apa yang dialami oleh orang lain.
Kedua, karena yang paling menarik perhatian kita adalah diri kita sendiri. Ini mudah sekali membuktikannya. Coba Anda ambil sebuah foto yang memuat gambar Anda dan teman-teman Anda. Dari mana Anda menilai bahwa foto itu bagus atau tidak? Siapa yang menjadi pusat perhatian Anda? Sudah tentu Anda sendiri bukan? Tak peduli bagaimana amburadulnya gambar orang lain, sebuah foto kita nilai bagus kalau pose kita dalam foto itu bagus.
Ketiga, kita sulit bertukar tempat karena kita tidak pernah mengalami menjadi orang lain. Bagaimana kita bisa merasakan tantangan yang dialami oleh para sopir angkutan umum – yang sering kali membawa kendaraan secara ugal-ugalan dan mengganggu kenyamanan kita – kalau kita setiap harinya duduk nyaman di mobil kita yang ber-AC? Bagaimana seorang karyawan – yang setiap hari senantiasa mengeluh – bisa memahami apa yang dirasakan oleh pemilik perusahaan? Bagaimana kita yang setiap hari makan enak dan tidur nyenyak bisa membayangkan bagaimana menjadi orang miskin? Bagaimana seorang suami bisa memahami apa yang dirasakan oleh istrinya yang tengah mengandung anak pertama?
Kita tidak akan pernah mengalami situasi yang demikian, karena itu kita tidak akan bisa berempati dan benar-benar merasakan apa yang dialami oleh orang lain. Namun sejatinya bertukar tempat tidak selalu berarti mengalami. Justru bertukar tempat adalah kemampuan kita untuk “mengalami” tanpa benar-benar mengalami. Ini bisa dicapai dengan latihan dan mengembangkan kedewasaan kita.
Keempat, kita sulit bertukar tempat karena kita sedang dalam situasi krisis. Bayangkan. Bila Anda sedang sakit gigi, dan di kanan-kiri Anda ada orang yang sedang terkena bencana gempa bumi, tanah longsor, kebakaran, kebanjiran atau kehilangan orang yang dicintai. Dari sekian banyak masalah tersebut, manakah yang merupakan masalah terbesar di dunia ini? Sudah pasti gigi Anda!
Kelima, kita sulit bertukar tempat karena menganggap bertukar tempat itu tidak penting. Pasalnya, kita tidak benar-benar menyadari manfaatnya bagi kesuksesan dan kebahagiaan kita.
Orang yang mampu bertukar tempat sejatinya adalah orang yang dapat melampaui dirinya sendiri. Dan ketika kita mampu melampaui diri sendiri, maka segala sesuatu di dunia ini akan dapat kita pahami. Tiada lagi kebencian dan permusuhan. Toh, bukan berarti kita setuju dengan apa yang dilakukan orang lain. Memahami tidaklah berarti setuju dengan perbuatan buruk, kata-kata yang kasar, penyelewengan, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Memahami berarti memandang apa pun yang ada di hadapan kita – seburuk apa pun itu – dengan mata kasih.
Penulisan adalah Direktur Pengelola ILM & penulis best seller The 7 Laws of Happiness.
Sumber: http://swa.co.id/2010/02/trading-places/
Labels:
MORAL STORIES
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment