Saya yakin anda sering mendengar kalimat ‘Pembeli adalah raja’. Sebuah slogan yang sudah lama digaungkan di dunia bisnis, untuk menggambarkan hubungan antara penjual dan pembeli. Seorang penjual yang sukses harus bisa meyakinkan dan melayani para ‘raja’, calon pembelinya. Meyakinkan bahwa barang dan jasanya pantas untuk dibeli dan dimiliki oleh para ‘raja’ ini. Begitu pun para penjual harus bisa memberikan pelayanan yang memuaskan untuk sang raja. Seandainya sang raja tidak jadi membeli atau hanya sedang mengecek harga, pengalaman dilayani itu akan diingatnya selalu. Dan bisa dipastikan suatu hari nanti para calon pembeli ini akan kembali.
Namun tidak banyak para penjual yang memberikan pelayanan terbaik untuk para pembelinya. Padahal suka atau tidak suka, pembeli telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam mendatangkan pundi-pundi uang untuk keberlangsungan denyut nadi perusahaan. Jika calon pembeli dilayani dengan sebaik-baiknya, bukan tidak mungkin suatu hari nanti mereka akan menjadi pelanggan tetap yang akan menarik pelanggan loyal lainnya melalui ‘Word of Mouth Marketing’ (pemasaran dari mulut ke mulut).
Pernahkah anda memiliki pengalaman buruk sebagai pembeli? Kalau iya, bagaimanakah penjual itu melayani keluhan anda? Apakah anda mau kembali lagi ke tempat itu?
Sepanjang perjalanan hidup saya, tentu saja saya juga pernah dikecewakan oleh penjual yang ‘nakal’. Selain mereka tidak melayani saya dengan baik, produk dan jasa mereka juga sama buruknya. Saya hampir tidak mengerti mengapa ada penjual seperti itu di bumi ini. Apakah mereka tidak tahu bila tidak melayani pembelinya dengan baik akan berakibat pada kelangsungan usahanya? Atau mereka hanya sekedar iseng membuang uang percuma untuk modal usaha yang memang di set hanya untuk jangka pendek?
Saya termasuk tipe pembeli yang ‘ember’. Sekali saya dikecewakan oleh penjual. Maka paling tidak saya akan membicarakannya pada lima puluh orang teman saya. Saya tidak hanya akan menyampaikan kepada mereka, tetapi saya juga akan menularkan kekecewaan saya terhadap penjual itu (resto/ritel/ atau apalah namanya itu) kepada teman-teman saya. Hingga teman saya pun bersumpah untuk tidak akan pernah menginjakkan kaki ke tempat itu. Maka berhati-hatilah anda dengan tipe konsumen seperti saya! Namun saya juga tidak akan segan-segan menyampaikan kepada semua orang yang saya temui tentang kepuasan saya terhadap penjual yang telah melayani saya dengan baik.
Suatu kali saya pernah mengalami hal yang tidak mengenakkan di sebuah pusat perbelanjaan. Selesai memilih barang saya inginkan, saya pun bersiap-siap untuk bertransaksi. Saya memberikan kartu debet saya kepada kasir, yang saya yakin masih ‘baru’. Saya sempat curiga, karena sang kasir tampak kebingungan dengan menggesek kembali kartu saya saat gesekan pertama tidak mengeluarkan kertas struk.
Saat itu saya tidak ambil pusing. Hingga akhirnya beberapa jam kemudian, dengan didorong oleh rasa penasaran saya yang besar. Saya mengecek rekening bank saya lewat internet banking. Dan benar saja kecurigaan saya terjawab. Ada dua transaksi bernilai sama di tempat yang sama, pada jam yang hanya berbeda kurang dari dua menit. Yup… kartu saya terdebet dua kali. Kontan saja saya kesal.
Saya segera menelepon customer service dari pusat perbelanjaan itu, untuk mengklarifikasi kasus tersebut. Sang customer service menerima saya dengan baik, dan berjanji akan membantu saya. Pada saat yang sama saya juga mengadukan hal tersebut kepada bank penyedia kartu debet saya untuk mempercepat proses. Pihak bank sempat memberikan harapan paling lama dalam jangka waktu lima hari, uang akan kembali ke rekening saya. Saya pun menunggu.
Namun pada kenyataannya uang saya kembali keesokan harinya. Saya senang bukan kepalang. Bukan hanya karena uang saya yang kembali, tetapi saya senang akan cara mereka melayani saya sebagai pembeli. Saya ingin sekali semua orang tahu betapa kedua perusahaan ini telah memperlakukan pelanggannya dengan baik. Maka saya menuliskannya di detik.com
Saya menuliskan setiap detil kejadian hingga ucapan terima kasih saya atas pelayanan mereka. Tak lama setelah tulisan saya dimuat, salah seorang petinggi di pusat perbelanjaan tersebut. Petinggi tersebut sama menuliskan email dan menelepon saya untuk menyampaikan ucapan terimakasih atas tulisan saya yang merupakan ‘word of mouth marketing’ gratis. Bahkan petinggi itu mengundang saya untuk bertemu.
Nah, bisa dibayangkan bila ritel dan bank tersebut tidak mengatasi keluhan saya dengan baik, dan malah tidak mempedulikan saya selaku pelanggan yang sedang kecewa. Kemudian saya menuliskan semua uneg-uneg dan kekesalan saya kepada media online yang dibaca lebih dari ratusan juta orang. Saya yakin itu akan berdampak buruk buat mereka.
Percaya atau tidak bila ‘Word of Mouth Marketing starts from unhappy customers’. Karena ‘unhappy customers are your most profitable talkers’. Promosi gratis yang tidak perlu dibayar.
Saya yakin anda pernah mendengar pengusaha kawakan Bob Sadino, pemilik kerajaan bisnis di Indonesia salah satunya Kem-Chick. Dahulu kala, Bob memulai bisnisnya sebagai satu-satunya penjual telur di kawasan Kemang. Saat itu bisnis Bob belum berkembang. Bob merasa perlu untuk mengembangkan sayapnya sebagai penjual telur di Kemang. Salah satunya dengan berpromosi. Tetapi tentu saja sebagai pengusaha kecil, Bob belum memiliki banyak uang untuk berpromosi. Maka muncullah ide gila dari Bob.
Bob sesumbar dengan mengatakan, ”kalau telur yang saya jual ini busuk 1 butir maka akan saya ganti satu kilo”.
Suatu hari sengaja Pak Bob menaruh sebutir telur busuk diantara beberapa telur yang dibeli oleh salah seorang pelanggannya yang sangat cerewet.
Keesokannya si pelanggan tersebut datang sambil marah-marah kepada pak Bob. Pak Bob malah tersenyum, merasa semuanya berjalan sesuai rencananya. Pak Bob mendengarkan sang pelanggan yang kebetulan ibu-ibu cerewet itu dengan baik. Di akhir, Bob pun memberikan satu kilo telur untuk menggantikan sebutir telur busuk yang dibeli ibu-ibu tersebut.Apa yang terjadi?
Dalam waktu sangat cepat, berita tentang Pak Bob dan telurnya tersiar di seluruh antero Kemang. Karena yang cerewet tadi menceritakan perihal kejadian yang dialaminya kepada setiap orang yang ditemuinya bahwa membeli telur di Pak Bob itu dijamin kualitasnya. Kalau busuk sebutir akan diganti satu kilo. Kontan saja, usaha telur Bob Sadino jadi laris-manis. Siapa sangka bertahun-tahun kemudian usaha telur sederhana miliknya berubah menjadi kerajaan bisnis KemChick?
Lain lagi cerita dari sebuah rumah sakit swasta bertaraf Internasional yang tempo hari pernah menghiasi headline di setiap media baik cetak, televisi, radio dan bahkan internet. Sebuah kesalahan fatal dari customer service yang tidak bijak mengatasi keluhan salah seorang pelanggannya, hingga akhirnya menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Sang pelanggan yang pernah dijebloskan ke dalam penjara oleh rumah sakit tersebut dengan tuduhan mencemarkan nama baik, malah mendapat dukungan secara nasional.
Tindakan bodoh dari customer service yang tidak becus, berakibat fatal bagi kelangsungan usaha rumah sakit tersebut. Saya yakin ada jutaan orang di luar sana yang akan berpikir seribu kali kalau ingin berobat di rumah sakit tersebut. Saya pun tidak akan mau berobat di sana walau dibayar.
Pada kenyataannya memang tidak banyak pebisnis yang menyadari bahwa customer service mempunyai potensi yang sangat besar untuk menghasilkan uang di dalam suatu perusahaan. Banyak perusahaan yang menganggap customer service tidak ubahnya sebagai sumber biaya (cost centre) dan tidak lebih dari pusat informasi layanan konsumen yang tugasnya menghadapi keluhan dari dari para pelanggan.
Padahal apabila kita mampu memberdayakan customer service kita dengan benar, mereka bisa menjadi potensi yang sangat besar untuk menjadi penghasil keuntungan. Customer service adalah di mana “the moment of truth” terjadi dan di mana loyalitas customer di bangun.
Namun yang terjadi adalah pengkotak-kotakan antara customer services dan sales. Malah terkesan adanya jurang pemisah yang dalam antara keduanya. Masing-masing merasa telah memberikan kontribusi yang besar dalam memberikan profit kepada perusahaan.
Para sales dituntut untuk menjual sebanyak mungkin demi memenuhi target yang telah ditetapkan. Makanya tidak mengherankan bila seorang sales melakukan berbagai cara untuk bisa menjual. Kemampuan ‘merayu’ menjadi hal yang mutlak ada bagi seorang sales. Sedangkan customer services dituntut untuk bisa mengatasi keluhan dan permintaan konsumen sebanyak mungkin agar menjadi puas.
Menurut customer service, ketegasan sales dianggap sebagai salah satu bentuk pemaksaan yang menjual omong kosong belaka. Bahkan terkadang sales terlalu menjanjikan hal yang muluk-muluk kepada client. Dari menawarkan aneka bonus, diskon, hingga terlalu lebay dalam mendeskripsikan barang dagangannya. Setelah sales berhasil menjual barang dagangannya. Maka selesai sampai disitulah hubungan antara sales dan client.
Dan Customer Service harus bekerja ekstra untuk menjawab aneka keluhan pelanggan akibat ‘barang/jasa’ yang dibelinya tidak sesuai dengan harapan. Customer Services harus mati-matian memutar otak untuk menyelesaikan segala macam keluhan, berempati dengan pelanggannya yang kebetulan dikecewakan oleh sales yang terlalu lebay dalam menjual. Padahal bila customer service dan sales saling bersinergi, bukan tidak mungkin bila penjualan dan keuntungan akan meningkat.
Why sales should listen to service sense of service is a paradigm and commitment of a company to always fulfill the ever changing need?
Ada banyak cara untuk mengubah pelayanan pelanggan (customer service) menjadi penjualan (sales). Semua bergantung dari harapan masing-masing penjual. Apakah mereka hendak meningkatkan penjualan dalam jangka waktu yang pendek, menengah atau panjang.
Pernahkah anda melakukan pemesanan makanan di sebuah restoran melalui telepon? Ketika anda memesan makanan melalui telepon, biasanya customer service akan menanyakan nama dan nomer telepon anda, selain tentu saja makanan yang akan dipesan. Setelah anda menyebutkan pesanan anda, biasanya customer service akan melakukan cross & up selling dengan menginformasikan aneka menu baru atau unggulan. Tujuannya tentu saja untuk menarik minat agar anda juga membeli varian produk yang lain. Namun tentu saja mereka tidak memaksa. Inilah strategi meningkatkan penjualan melalui customer service dalam jangka pendek.
Pada perusahaan tertentu seperti misalkan di perbankan. Customer service atau call centre merupakan garda depan dalam penjualan produk-produk perbankan. Seorang call centre selain dituntut untuk bisa melayani nasabah yang membutuhkan informasi atau pun kecewa, juga harus dapat menjual produk-produk perbankan.
Setiap telepon yang masuk ke call centre baik merupakan enquiry, request ataupun complaint merupakan peluang bagi penjualan produk-produk perbankan. Sang call centre harus bisa menggali informasi tentang kebutuhan dan keinginan para nasabah yang meneleponnya. Seringkali nasabah yang mengeluh tentang bunga kartu kreditnya yang sangat tinggi hingga dia kesulitan membayar, masih bisa dirayu untuk mengambil produk perbankan lainnya, misalkan kredit dengan bunga rendah untuk membayar tagihan kartu kreditnya. Walaupun bank kehilangan sebagian keuntungannya dari bunga kartu kredit, namun sebenarnya bank masih diuntungkan dengan pemasukan bunga kredit yang lebih kecil dari produk pinjaman dana tunai. Istilahnya daripada nasabahnya sama sekali tidak bisa membayar hutangnya.
Bahkan ada beberapa Bank penyedia kartu kredit ternama menyediakan divisi call centre khusus yang disebut retention team. Mereka adalah para call centre di garda terakhir yang berusaha merayu para nasabah yang hendak menutup kartu kreditnya agar tidak jadi menutup kartu dengan aneka tawaran menggiurkan. Kalau perlu nasabah tersebut digiring untuk menggunakan produk lainnya.
Lain lagi yang dilakukan oleh Garuda Indonesia. Pada tahun 2004, saat low cost airline mencuat, dan terjadi perang harga besar-besaran antara maskapai penerbangan, Garuda Indonesia merugi 800 milyar. Garuda Indonesia dipaksa untuk ikut menurunkan harganya demi memenangkan persaingan di antara para maskapai penerbangan baru yang menerapakan harga ‘super duper murah’. Tentu saja hal itu membuat Garuda Indonesia limbung.
Hingga Presdir Garuda Emir Syah Satar menyelamatkan Garuda Indonesia dari keterpurukan. Garuda Indonesia melakukan perombakan total untuk meningkatkan kepuasan pelanggan. Bahkan Garuda Indonesia menetapkan 25 touch point standarisasi pelayanan konsumen, dari mulai pemesanan tiket, naik kabin, hingga setelah mendarat semua ada standarnya. Bahkan senyum para pramugarinya diatur.
Garuda Indonesia menekankan pentingnya pelayanan pelanggan untuk memenangkan kompetisi yang tidak hanya berskala nasional tetapi juga internasional. Dengan mengusung semboyan ‘Full Service Airline’, perlahan tapi pasti garuda Indonesia berhasil mengembalikan masa kejayaannya yang sempat redup. Hingga kini Garuda Indonesia paling tidak mengantongi keuntungan 1 Trilyun dalam setahun. Sebuah prestasi besar yang berangkat dari kesadaran akan pentingnya melayani pelanggan dengan baik.
Saya yakin tidak semua orang suka akan low cost airline, yang hanya menyediakan transportasi udara dengan murah. Saya yakin ada banyak orang yang mengutamakan kenyamanan selama bepergian, termasuk jamuan makan yang nikmat selama di pesawat walaupun mereka harus membayar ‘lebih’ untuk itu. Dan Garuda Indonesia mencoba menerapkan konsep tersebut. And it works!
Kalau boleh dibuat rumusan tentang customer value maka,
Customer Value = (total get/total give) = (functional benefits+emotional)/(price + other expenses)
Nilai pelanggan (Customer Value) adalah jumlah barang/jasa yang diterima pelanggan dibagi sejumlah uang yang dikeluarkan oleh pelanggan untuk membeli barang atau jasa tertentu.
Sedangkan di era kompetisi seperti sekarang ini. Nilai pelanggan adalah sejumlah keuntungan fungsional dan emosional yang diterima oleh pelanggan dibagi harga dan pengeluaran lainnya.
Pelanggan tidak lagi hanya membeli sesuatu dengan kegunaan dasar tertentu. Tetapi pelanggan sebetulnya juga membeli ‘experience’ berbeda (misalkan gengsi), dan mereka rela merogoh kocek lebih dalam untuk itu.
Itulah mengapa Starbuck yang menjual kopi dengan harga selangit tetap dibanjiri pelanggan. Padahal mungkin rasanya tidak jauh beda dengan warung kopi dan café lainnya yang menjual kopi. Karena starbuck memberikan sensasi berbeda kepada pelanggannya. Seperti ada rasa kebanggaan tersendiri ketika anda membeli cappuccino di Starbuck dibandingkan di tempat lain. Coba lihat dari cara orang-orang yang menenteng-nenteng gelas plastik bertuliskan starbuck. Mereka terlihat lebih percaya diri. Dan saya yakin ada banyak di antara mereka yang sengaja meminum sedikit demi sedikit isinya, agar mereka dapat lebih lama memegang gelas tersebut sehingga lebih banyak orang yang melihatnya sedang meminum kopi bergengsi.
Untuk mengintegrasikan penjualan (sales) dan pelayanan (service), suatu perusahaan harus mengetahui dengan jelas siapakah target pasar mereka, dimanakah posisi mereka. Posisi menentukan strategi mereka selanjutnya.
Selama berpuluh-puluh tahun, Toyota berhasil menjadi produsen mobil ‘rakyat’ yang paling popular. Mobil-mobil besutan Toyota terkenal ‘bandel’ dan harganya terjangkau. Ketika akhirnya Toyota mengeluarkan produk premiumnya ‘Lexus’. Mobil dengan harga paling murah di atas satu milyar. Toyota harus bekerja keras membangun image-nya yang sudah terlanjur sebagai produsen mobil-mobil ‘rakyat’ menjadi pembuat mobil-mobil mewah yang kualitasnya setara dengan Mercedes Benz.
Sebagai pemain baru di pasar mobil premium, Lexus cukup tahu diri akan posisinya. Lexus tidak akan mungkin berebutan kue pasar dengan Mercedes Benz. Karena semenjak zaman dahulu kala, lambang kesuksesan dari seorang kaya adalah Mercedez Benz. Setiap orang kaya sedikit, akan segera menghamburkan uangnya demi sebuah Mercedez Benz yang akan mengukuhkan posisinya sebagai orang kaya. Lalu dimanakah Lexus akan bermain?
Nah ini dia uniknya. Lexus ternyata malah mencoba membangun image, “ Orang kaya belum lengkap kalau belum punya Lexus”. Lexus mencoba menyasar kepada orang-orang kaya lama yang sudah memiliki Mercedes Benz untuk memiliki Lexus sebagai cadangan mobil ketiga atau keempatnya.
Dengan mengusung tagline, “The Pursuit of Perfection”, Lexus membangun image-nya sebagai mobil dengan personal luxury experience. Lexus dengan percaya dirinya menganggap setiap mobil besutannya adalah sebuah mahakarya bernilai artistik tinggi yang patut dimiliki oleh para pribadi istimewa. Inilah alasan mengapa Lexus membangun konsep gallery untuk pusat penjualan mobil-mobilnya bukan showroom mobil.
Kalau anda pernah berkunjung ke Lexus gallery di Jakarta. Anda tidak akan pernah menyangka bahwa itu adalah sebuah bangunan yang menjual mobil-mobil Lexus. Karena dari luar hampir tidak tampak deretan mobil Lexus yang dipajang seperti di showroom mobil lainnya. Satu-satunya yang membuat kita berpikir adalah adanya lambang Lexus di luar bangunan resik dan apik yang terkesan sangat elegan itu. Penasaran?
Saat anda masuk, anda akan semakin dibuat tercengang-cengang oleh suasana galeri yang penuh dengan benda-benda seni selain tentu saja mobil Lexus yang terpajang cantik layaknya mahakarya di setiap ruangan.Para kru Lexus yang bertindak seperti para kurator di sebuah galeri seni mahal siap menyambut anda. Tanpa pandang bulu mereka akan melayani anda dengan penuh senyum, mengajak anda melihat-lihat barang koleksinya sambil menceritakan sejarah, dan setiap detil koleksi Lexusnya yang dibuat dengan keakuratan tinggi hingga menghasilkan mahakarya bernilai tinggi. Saya jamin anda akan dibuat terbengong-bengong oleh penjelasan para kurator tersebut. Dan yang paling membuat anda heran adalah di akhir ceritanya, kurator sama sekali tidak akan memaksa anda untuk membeli salah satu mobil itu. Bahkan mereka tidak menawarkan anda. Sepertinya kru Lexus sudah cukup bangga kalau mereka bisa menularkan kebanggaan mereka akan koleksi mobil Lexus yang merupakan mahakarya.
Di Lexus Gallery, anda tidak hanya disuguhkan koleksi mobil-mobil Lexus yang bernilai itu. Kalau anda beruntung, cicipi juga Lexus Cappucino. Sebuah sajian istimewa secangkir kopi cappuccino hangat yang ditaburi choco granule sehingga membentuk lambang Lexus. Anda bisa menikmati kopi lezat tersebut sambil bersantai dengan para kolega bisnis.
Awalnya pendirian Lexus Gallery Indonesia sempat menjadi perdebatan para petinggi Toyota di Jepang. Mereka menganggap Lexus Gallery adalah sebuah ide gila yang tidak akan berhasil. Ternyata anggapan mereka keliru. Lexus Gallery Indonesia menjadi model sukses penjualan Lexus di seluruh dunia. Dan seluruh cabang Lexus di seluruh dunia belajar dari Lexus Gallery Indonesia.
Ada hal unik yang semakin membuat saya tercengang. Lexus yang menempatkan dirinya sebagai ‘branded service’ yang menawarkan personal luxury experience untuk target premium class, tahu benar bagaimana melayani pembelinya sebagai raja. Agar semangat tersebut juga bisa diresapi oleh para kurator-nya (alias sales-marketing), Lexus sengaja mengirim mereka ke Luar Negeri. Bukan untuk training atau belajar tentang Lexus, tetapi untuk mencicipi pelayanan kelas wahid di hotel-hotel paling mahal di dunia. Kelak para pegawai Lexus akan melayani pelanggan yang datang dari premium class. Bagaimana mereka bisa melayani kalau mereka tidak pernah dilayani layaknya premium class. Nah pada kesempatan itu, calon pegawai Lexus diajari bagaimana melayani raja, dari pelayan-pelayan yang melayani mereka di hotel-hotel mewah Luar Negeri.
Lain lagi dengan Adira Finance yang menyasar pada target konsumen dari kelas bawah. Tentu saja Adira menerapkan strategi yang berbeda dengan Lexus dalam menggaet pelanggannya. Toh, pelanggan Adira tidak membutuhkan personal luxury experience yang mahal. Adira memangkas pengeluaran-pengeluaran yang tidak perlu agar harga kredit-nya tidak mahal. Tentu saja corporate culture yang diterapkan Adira juga berbeda dengan Lexus. Dengan strategi tersebut Adira berhasil memiliki 310 cabang, 17.507 karyawan, dan 2,5 juta pelanggan di seluruh Indonesia. Bandingkan dengan Lexus yang hanya memiliki satu Lexus Gallery, dan hanya 531 mobil yang terjual. Perbedaan yang sangat drastis dengan nilai keuntungan yang sudah pasti Lexus lebih banyak.
Kalau costumer service dan sales sama pentingnya dalam suatu perusahaan, perlukah outsource? Pegawai seperti apa yang harus di outsource dan tidak?
Ada pendapat yang mengatakan “Never outsource your core competence”.
Namun ada juga yang berpendapat bahwa tiga tahun adalah titik jenuh dari seorang call centre untuk bekerja. Setelah tiga tahun biasanya seorang call centre sudah merasa sangat bosan dan siap hengkang. Itulah yang menjadi pertimbangan mengapa banyak perusahaan jasa yang meng-outsource kan pegawai call centre yang bertugas sebagai customer service.
Sedang di Zappos.com, call centre atau customer service dianggap sebagai garda depan denyut nadi perusahaan yang harus dikelola dengan baik. Semua karyawan zappos.com adalah pegawai tetap.
Kalau ada yang belum tahu, zappos.com adalah sebuah sebuah situs e-commerce berbasis di Las Vegas Amerika Serikat yang menjual produk berupa sepatu dan fashion lainnya secara online. Tahun lalu amazon.com mengakuisisi zappos.com dengan nilai terbesar sepanjang sejarah akuisisi amazon.com. Amazon membeli zappos.com senilai hampir 1 milyar dolar Amerika Serikat. Sebuah angka yang fantastik untuk sebuah akuisisi. Dan Amazon berani melakukan hal tersebut bukan tanpa alasan. Zappos.com memiliki kinerja yang sangat bagus sebagai e-commerce dengan laba yang besaar.
Kekuatan zappos.com adalah armada customer service-nya. Semua customer service adalah karyawan tetap yang diistimewakan. Begitu istimewanya, sampai semua petinggi di jajaran manajemen zappos.com harus merasakan paling tidak dua minggu menjadi call centre.
Bila di perusahaan kebanyakan membatasi durasi telepon para call centre-nya.Maka di zappos.com, call centre bisa melayani pelanggannya selama mungkin tanpa dibatasi oleh durasi telpon. Call centre zappos.com menempatkan dirinya sebagai partner untuk konsultasi fashion dengan kesabaran luar biasa. Makanya kebanyakan dari pelanggan zappos.com adalah pelanggan loyal.
Konon katanya system perekrutan di zappos.com terbilang unik. Selain zappos.com hanya menerima calon-calon karyawan yang berkualitas. Pada akhir masa training karyawan baru, zappos.com menawarkan uang sejumlah 2000 dolar Amerika Serikat kepada siapa saja yang memutuskan untuk keluar dari zappos.com. Dari situ ketahuan siapa yang ingin bekerja di zappos.com hanya demi uang atau benar-benar dedikasi. Yah kebanyakan orang merasa tidak suka dengan pekerjaannya namun tetap bertahan demi uang. Dan zappos.com tidak mau itu terjadi pada karyawannya Gak lucu kan kalau industri yang mengandalkan customer service, mempekerjakan karyawan yang setengah hati dengan pekerjaannya. Bagaimana mungkin mereka bisa melayani karyawannya dengan baik?
Jadi kalau saya boleh menyimpulkan di sini, yang pertama kali harus dilakukan adalah Tentukan apa posisi perusahaan anda. Kemudian ciptakan corporate culture dan tularkan semangat perusahaan anda kepada karyawan anda. Terakhir sinergikan customer service dan sales untuk mendapatkan keuntungan jangka panjang. Anda tentu tidak mau bukan, kalau perusahaan anda hanya akan bertahan satu atau dua tahun saja.
Apapun perusahaan anda, ingat pembeli, nasabah, client, pelanggan anda adalah raja yang harus dilayani. Bila ada keluhan dari mereka,jangan berkelit, mundur, tak peduli, atau malah saling menyalahkan antara divisi.
Akhir kata selamat mereguk keuntungan dengan melayani pelanggan anda! Karena setiap pelanggan adalah istimewa.
Jakarta, 4 Juli 2010
Risma Budiyani
Sebuah catatan pinggir oleh-oleh dari Marketeers club
(Dilarang menjiplak atau menyalin tulisan ini tanpa seizin atau mencantumkan nama penulisnya).
0 comments:
Post a Comment