Republika Online
Rabu, 26 Juni 1996
Belajarlah dari Air
Harry seorang manajer pemasaran keluar dari ruang rapat dengan muka masam. Di belakangnya Tony, manajer keuangan berjalan dengan gontai. Kemudian Andi manajer produksi mengikuti dengan wajah yang tak jauh berbeda. Apa pasal? Rapat manajemen yang baru saja selesai tampaknya tak menggembirakan ketiganya.
Tak satupun dari usul-usul yang mereka ajukan diterima pimpinan. Mengapa pimpinan begitu sulitnya menerima pendapat mereka? Padahal tak dapat dipungkiri selama inilah merekalah yang lebih mengerti keadaan di lapangan.
“Sudah saatnya tiap pimpinan memiliki cara berpikir demokratis. Inilah teknologi berpikir alternatif. Jika seorang pemimpin hanya berpikir bagaimana cara untuk menang, saat itulah sebenarnya ego pribadinya yang sedang bermain,” kata Gede Prama, pakar manajemen organisasi.
Menurutnya yang membedakan seseorang pemimpin dari seorang perampok, pencuri atau seorang pemerkosa adalah kemampuannya berhenti dari pemikiran menang- kalah. Jadi sekalipun sebagai pemimpin janganlah terus memposisikan diri di atas, karena ini akan menutup Anda untuk dapat menerima pendapat orang lain. Padahal kadang pendapat orang lain yang tidak setuju dengan pendapat seorang pemimpin justru ada gunanya. Tapi memang bagi seorang pemimpin yang telah terbiasa memegang kekuasaan, tak mudah mengubah keadaan ini.
“Belajarlah dari air,” begitu nasehat Gede Prama yang disampaikan dalam Diskusi Marketing yang diselenggarakan Markplus pekan silam. Apa sebenarnya kecanggihan filosofi kepemimpinan berdasarkan air? Karena air memiliki kelenturan yang tidak bisa disamakan zat lain. Jauh berbeda dengan batu, misalnya. Keduanya punya logika berlawanan.
Dua batu yang digabungkan tidak akan pernah menyatu menjadi batu yang lebih besar tanpa bantuan zat lain, seperti semen. Sedang air, meskipun jenisnya berbeda jika disatukan akan dapat menyatu. Demikian pula dalam memimpin, jika sesoerang dapat memahami filosofi air, akan mampu mengendalikan orang lain tanpa mengalahkannya. “Pada intinya ada tiga hal yang penting, yaitu tidak memaksa untuk mengalahkan, tidak juga dikalahkan, tapi tetap mencapai tujuan,” jelasnya.
Ada tiga sifat utama air menurut Gede Prama dapat dianalogikan dengan kepemimpinan yang demokratis. Pertama adalah sifat mengalir dengan normal. Di sungai yang tenang, misalnya, air mengalir dengan normal. Saat bertemu dengan batu ia tidak memaksa untuk memecahnya, tapi dengan lentur melewatinya, yang penting ia mencapai tujuan.
Demikian pula seorang pemimpin saat menemui bawahan yang sulit. Saat seperti inilah seorang pemimpin yang mampu menghayati filosofi air dibutuhkan. Bagaimana dengan segenap kelenturan dia bisa mengendalikan bawahan yang sulit itu.
Oleh Gede, kelenturan ini juga bisa becermin dari bela diri Kung Fu. “Kita bisa belajar dari film Kung Fu The Legend Continuous, yaitu bahwa kelenturan yang seringkali diidentikkan dengan kelemahan, sebenarnya justru sumber dari kekuatan,” katanya.
Dalam ilmu bela diri kelenturan adalah jenjang tertinggi yang mampu dicapai seorang pendekar. Tanpa mengeluarkan banyak tenaga mereka mampu mengalahkan lawan. Kekuatan yang bersumber dari kelenturan justru menjadi kekuatan yang tak terkalahkan.
Banyak contoh kelenturan dalam kepemimpinan yang dapat ditiru. Gede mengutip pernyataan Ciputra, CEO Group Pembangunan Jaya. “Seorang pemimpin yang berhasil, kehadirannya nyaris tak dirasakan orang lain,” kata Ciputra.
Ia ingin menggambarkan bagaimana seorang pemimpin di tengah massanya harus bersikap. Pemimpin harus bisa membaur seperti air yang dituangkan ke dalam bejana berisi air pula. Ini akan sangat kontras bila dibandingkan dengan kaum birokrat yang kehadirannya bukan saja sangat disadari oleh massanya. Bahkan kehadirannya itu sengaja dipersiapkan matang oleh dirinya sendiri.
Sifat air kedua yang dikutip Gede Prama, adalah sifat air laut dan air sungai. “Air laut lebih berkuasa dari air sungai karena posisinya yang berada di bawah. Kekuasaan itu datang dari sikap rendah yang mau melayani,” katanya. Kenyataannya, air laut selalu tampak lebih lebih banyak, karena ia mau menerima limpahan air sungai.
Matsushita, salah satu perusahaan Jepang terbesar pernah mengatakan bahwa laba mereka bukanlah hasil penjualan. “Laba adalah rasa terima kasih konsumen atas pelayanan yang kita berikan,” kata Konosuke Matsushita, seperti yang dikutip Gede. Matsushita ibarat laut, dan kepercayaan konsumen yang berupa laba adalah sungai.
Sifat air ketiga yang dikuti Gede Prama adalah sifat air tenang yang mampu menjadi cermin. “Kolam yang tenang misalnya akan mampu memantulkan bayangan benda di depannya,” kata Gede Prama.
Nah demikian juga seorang pemimpin. Seharusnya ia tidak melulu memposisikan diri di atas massanya. Juga tidak berharap tak ada seorang anggota pun yang mampu menyainginya. Sebab jika usaha yang dijalaninya ingin terus langgeng maka ia juga harus memikirkan kader pemimpin di masa datang.
Karenanya, seorang pemimpin juga harus mentransformasikan kepemimpinannya kepada kadernya. Intinya ia harus mampu menjadi cermin anggotanya. Untuk kaderisasi kepemimpinan ini Gede Prama menganjurkan untuk tidak menunjukkan kebenaran kepada anggota, tapi biar mereka sendiri yang menemukannya.
Masih ada dua lagi sifat tambahan dari air yang dapat dijadikan dasar dalam memimpin seseorang. Keempat adalah kelanjutan dari sifat air yang ketiga. Jika seseorang telah mampu menempatkan diri sebagai kolam, selanjutnya ia mesti mencoba mencari hal yang mendasar, yaitu kecintaan pada manusia.
Rasa kecintaan pada manusia ini akan menjadikan seorang pemimpin lebih menghargai bawahannya. Mengutip Jan Carlzon, seorang mantan CEO Skandinavian Airlines pernah menyebutkan bahwa manusia ingin merasakan dirinya sedang dibutuhkan.
Sifat air kelima yang diajukan Gede adalah bahwa air jika dituangkan ke tempat apapun naiknya akan bersamaan. Jika Anda merasa sulit membayangkan, maka ingatlah percobaan bejana berhubungan yang pernah dipelajari di sekolah dulu.
Pada intinya filosofi kelima ini mengajarkan kepada seorang pemimpin untuk membekali dengan perspektif yang baru. “Dalam organisasi seringkali terjadi dikotomi antara jabatan. Orang pemasaran mencoba menghindari bidang yang lainnya,” kata Gede. Hal ini bisa jadi sangat berbahaya. Karena masing- masing bagian akan menganggap diri paling benar.
Tak ada salahnya kita mengambil filosofi air dalam memimpin, seperti anjuran Gede dalam bukunya berjudul “Praktek Kepemimpinan Berdasarkan Air” ini. Hanya yang perlu dihindari janganlah berperilaku seperti air bah, yang bukannya membuat hidup menjadi tenang tapi justru berantakan. Sayang, bagaimana mengelola air bah menjadi bermanfaat ini tidak disinggung dalam buku itu.
Hak Cipta © 1996 Harian Umum Republika.
Dilarang memperbanyak dan menerbitkan ulang dalam bentuk apa pun tanpa seizin dari penerbit. Hak cipta dilindungi Undang-Undang.
0 comments:
Post a Comment