Oleh : Arvan Pradiansyah *)
Monday, March 22nd, 2010Alkisah, suatu ketika, seorang pelacur menemukan seekor anjing yang kehausan. Tanpa berpikir panjang ia membuka sepatunya, mengisinya dengan air, kemudian memberikannya kepada anjing itu. Anjing itu pun meminum air itu dengan penuh gembira dan suka cita. Namun, nasib malang menimpa pelacur tadi. Dalam perjalanan pulang ke rumahnya, pelacur itu tewas ditabrak kendaraan yang melaju amat cepat. Konon, menurut cerita ini, si pelacur masuk surga. Semua kesalahannya dimaafkan setelah ia menolong seekor anjing dengan penuh kasih.
Cerita lain mengenai seorang ahli ibadah yang rajin bersembahyang dan menyembah tuhannya. Namun, ketika melihat seekor kucing yang kelaparan, ia sama sekali tidak tergerak untuk memberinya makan. Kucing ini begitu menderita dan menjadi sekarat. Dan ternyata hari itu juga merupakan akhir dari kehidupan sang ahli ibadah. Konon, menurut cerita ini, ia dimasukkan ke dalam neraka.
Pembaca yang budiman, kedua cerita di atas memberikan ilustrasi kepada kita mengenai betapa pentingnya sebuah akhir yang baik. Bahkan, sesungguhnya akhir itu jauh lebih penting daripada awal. Bukankah nilai seseorang ditentukan dari akhirnya dan bukan awalnya? Seorang yang baik di awal tetapi buruk di akhirnya akan dinilai buruk, sebaliknya seorang yang buruk di awal tetapi baik di akhir akan dinilai baik. Jadi, yang menentukan baik-buruknya bukanlah awal, melainkan akhir.
Sekarang saya bertanya kepada Anda: mana yang lebih baik mantan ustadz atau mantan penjahat? Bagaimana dengan dua artis berikut ini? Artis pertama dikenal sebagai artis yang baik dan sopan, tetapi kini ia sering berbusana minim dan tampil seronok. Sementara artis kedua, dulu suka berbusana minim dan sering tampil dalam film-film panas. Namun, sekarang ia menutup auratnya rapat-rapat dan dengan anggun menggunakan busana muslimah. Ia meninggalkan semua perilaku buruknya dan menjadi orang yang saleh. Nah, kalau saya meminta kepada Anda untuk memilih yang mana di antara kedua artis ini yang berperilaku baik, saya yakin Anda pasti akan memilih yang kedua. Kriterianya jelas, Anda hanya melihat perilakunya yang sekarang. Singkatnya, akhir itu lebih penting daripada awal.
Pembaca yang budiman, sesungguhnya apa yang sedang saya bicarakan ini adalah sebuah konsep kepemimpinan. Kepemimpinan, menurut saya, adalah kemampuan mengelola akhir, bukan awal. Mengapa? Karena, siapa pun bisa mengelola yang di awal. Anda tidak perlu belajar kepemimpinan untuk bisa melakukannya. Anda cukup menggunakan akal sehat dan melakukan apa yang perlu dilakukan secara alami. Namun, untuk mengelola yang di akhir, Anda betul-betul membutuhkan kepemimpinan. Tanpa kepemimpinan, Anda pasti akan mengalami kegagalan.
Coba Anda pikirkan contoh-contoh yang saya sebutkan berikut ini. Berapa banyak orang yang ketika mulai bekerja di suatu tempat memulainya dengan baik-baik? Saya kira hampir semua orang di dunia ini memulai sebuah pekerjaan di kantor baru dengan baik-baik. Ya, tentu saja. Siapa yang mau menerima Anda kalau Anda tidak memulai segala sesuatunya dengan baik-baik? Akan tetapi, coba Anda perhatikan, berapa banyak orang yang mengakhiri kerjanya di suatu tempat juga dengan baik-baik? Tidak usah jauh-jauh, Anda cukup melihat pengalaman Anda sendiri maupun pengalaman orang-orang di sekitar Anda.
Bagaimana dengan dua insan yang jatuh cinta kemudian memutuskan menikah? Saya kira hampir setiap orang menikah secara baik-baik. Namun, apa yang terjadi ketika bercerai? Apakah mereka juga bercerai secara baik-baik? Bukankah jauh lebih banyak orang yang mengakhiri hubungan kasih mereka dengan saling berteriak, mencaci, memaki, bermusuhan, dan tidak saling menyapa?
Bagaimana juga dengan kerja sama bisnis? Bukankah hampir semua orang memulainya dengan baik-baik? Dan bukankah banyak sekali orang yang mengakhiri kerja sama tersebut dengan kemarahan, sakit hati dan permusuhan?
Mengapa kita senantiasa memulai sebuah hubungan dengan manis, tetapi mengakhirinya dengan pahit? Inilah penyebab uatamanya. Ketika memulai sebuah hubungan, posisi orang itu di mata kita sungguh penting. Melalui orang itulah kita akan bisa mencapai apa yang kita inginkan. Jadi, kita pasti berusaha berbaik-baik dengannya.
Sementara ketika mengakhiri hubungan, kepentingan kita sudah berubah. Ini membuat posisi orang tersebut menjadi tidak penting lagi. Itulah sebabnya, kita mempraktikkan pepatah “Habis manis sepah dibuang.”
Kalau demikian halnya, sudah jelaslah bahwa kebaikan yang kita lakukan di awal itu sesungguhnya bukanlah kebaikan, melainkan sekadar sebuah kepentingan. Kebaikan senantiasa dilandasi kasih. Dan ketika kita bicara mengenai kasih, kita akan selalu melakukan kebaikan, di awal maupun di akhir. Namun, tidak demikian dengan “kebaikan” yang dasarnya adalah kepentingan. Kebaikan seperti ini semu. Ia akan segera menghilang begitu kepentingannya menghilang.
Orang yang memiliki kasih mempunyai keindahan yang luar biasa di dalam dirinya. Dorongan kebaikannya berasal dari dalam. Sementara orang yang baik karena dasar kepentingan, dorongannya adalah dari luar. Karena itu, kebaikan sesungguhnya belumlah menyatu dalam dirinya. Kebaikan hanyalah merupakan topeng dari kepentingan dan alat untuk mendapatkan keuntungan. Ini seperti rumus utama dalam dunia politik: tidak ada kawan sejati, tidak ada musuh abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi.
Orang yang memiliki kasih mempunyai kebaikan sejati. Mereka baik di awal maupun di akhir. Bagi mereka, tak ada awal dan tak ada akhir, yang ada hanyalah kebaikan yang abadi. Bahkan, akhir mereka senantiasa lebih manis dan lebih indah daripada awalnya. Ini karena kasih senantiasa berkembang, tumbuh dan mendekatkan jarak di antara dua hati.
*) Penulis Direktur Pengelola ILM & penulis bestseller The 7 Laws of Happ