Gold Price

Category

Search This Blog

Tuesday, October 16, 2012

DISPEPSIA (SAKIT MAAG MENAHUN YANG MEMBANDEL)


Nyeri atau rasa tidak nyaman di perut atas – umumnya di bawah tulang rusuk di atas pusar – yang disertai kembung, sendawa berlebihan, rasa panas di dada, mual, muntah, dan napas berbau seringkali dianggap enteng. Biasanya penderita hanya minum obat bebas semisal antasida (penawar asam lambung) yang banyak diiklankan.

Namun, berhati-hatilah. Meski jarang, kumpulan gejala yang dikenal sebagai dispepsia itu bisa jadi merupakan penyakit serius seperti kanker lambung, maupun radang lambung dalam yang bisa menyebabkan kebocoran saluran cerna. Dispepsia tidak memilih usia dan jenis kelamin. Semua bisa terkena. Boleh dibilang satu dari empat orang pernah mengalami dispepsia suatu saat dalam hidupnya

Apakah Dispepsia

Kata dispepsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti “pencernaan yang jelek”. Per definisi dikatakan bahwa dispesia adalah ketidaknyamanan bahkan hingga nyeri pada saluran pencernaan terutama bagian atas.

Gejala lain yang bisa dirasakan selain rasa tidak nyaman, juga mual, muntah, nyeri ulu hati, bloating (lambung merasa penuh), kembung, bersendawa, cepat kenyang, perut keroncongan (borborgygmi) hingga kentut-kentut. Gejala itu bisa akut, berulang, dan bisa juga menjadi kronis. Disebut kronis jika gejala itu berlangsung lebih dari satu bulan terus-menerus.

Seberapa banyak orang yang menderita dispepsia itu?

Banyak sumber, banyak juga angka yang diberikan. Ada yang menyebut 1 dari 10 orang, namun ada juga yang menyatakan sekitar 25 persen dari populasi. Tentu itu angka dari luar negeri yang dikutip dari http://familydoctor.org. Mengenai jenis kelamin, ternyata baik lelaki maupun perempuan bisa terkena penyakit itu. Penyakit itu tidak mengenal batas usia, muda maupun tua, sama saja.

Di Indonesia sendiri, survei yang dilakukan dr Ari F Syam dari FKUI pada tahun 2001 menghasilkan angka mendekati 50 persen dari 93 pasien yang diteliti.

Sayang, tidak hanya di Indonesia (seperti Pak Otto), di luar negeri pun, menurut sumber di Internet, banyak orang yang tidak peduli dengan dispepsia itu. Mereka tahu bahwa ada perasaan tidak nyaman pada lambung mereka, tetapi hal itu tidak membuat mereka merasa perlu untuk segera memeriksakan diri ke dokter.

Padahal, menurut penelitian- masih dari luar negeri-ditemukan bahwa dari mereka yang memeriksakan diri ke dokter, hanya 1/3 yang tidak memiliki ulkus (borok) pada lambungnya atau dispepsia non-ulkus. Angka di Indonesia sendiri, penyebab dispepsi adalah 86 persen dispepsia fungsional, 13 persen ulkus dan 1 persen disebabkan oleh kanker lambung.

Mekanisme

Seperti yang bisa dilihat pada tabel Klasifikasi Dispepsia berdasarkan Penyebab, sangat beragam penyebab dispepsia. Sayangnya, sampai saat ini belum ada satu teori pun yang bisa memuaskan semua pihak dalam hal menjelaskan terjadinya dispepsia itu. Multifaktorial, kata para peneliti.

Bahkan, pasien-pasien yang sama-sama mempunyai ulkus (peptic ulcer), mekanisme terjadinya pun bisa berbeda. Artinya dengan keadaan yang sama tidak selalu gejala yang dirasakan sama.

Begitu luasnya cakupan istilah dispesia, akhirnya ada yang menggolongkannya dengan dispepsia fungsional dan dispesia organik.

Dispepsia fungsional adalah dispepsia yang terjadi tanpa diketahui adanya kelainan struktur organ lambung (seperti ulkus, tumor maupun kanker), mulai dari melalui pemeriksaan klinis, biokimiawi hingga pemeriksaan penunjang lainnya, seperti USG, Endoskopi, Rontgen hingga CT Scan.

Teori patogenesis penyakit ini masih banyak yang kontroversial dan kontradiktif. Ada juga postulat yang mengatakan sensitivitas mukosa terhadap asam lambung mungkin dapat menimbulkan nyeri abdomen ataupun rasa tidak nyaman. Kelainan fungsi motori saluran cerna atas juga dipercaya merupakan salah satu patogenesis terjadinya dispesia fungsional.

Hasil penelitian memperlihatkan hipomotilitas antrum pilori pada 25-50 % pasien DNU, dan pengosongan lambung yang terlambat. Selain itu, reaksi inflamasi diperkirakan mengaktivasi reseptor ambang rangsang, sehingga stimulus fisiologis yang normal menimbulkan rasa tidak nyaman.

Kurang lebih 50% pasien dengan dispesia fungsional melaporkan keluhan mereka berkaitan dengan makanan. Makanan dianggap memicu sekresi asam lambung. Kopi juga dapat memperberat dispepsia, namun apakah caranya dengan berfungsi sebagai iritan nonspesifik langsung ataupun dengan mempresipitasi refluks gastroduodenal masih belum jelas. Obat antiinfalmasi nonsteroid (OAINS)/ Obat pereda nyeri/rematik juga dapat menyebabkan gangguan gejala serupa. Hal ini berkaitan dengan dosis.

Infeksi Hp

Dari berbagai laporan kekerapan Helicobacter pylori (Hp) pada dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda makna dengan populasi Hp pada kelompok orang normal. Korelasi sebagai faktor penyebab masih banyak diperdebatkan, dan juga manfaat eradikasi Hp pada dispepsia fungsional. Dengan alat endoskopi saluran cerna pemeriksaan Hp dapat dilakukan biopsi. Hasil biopsi dengan pemeriksaan patologi anatomi pada pasien dispesia di RSUD Tugurejo didapatkan hasil 72% menunjukkan adanya infeksi Hp (Data unit endoskopi saluran cerna RSUD Tugurejo).

Diagnosis Banding

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) dapat menjadi salah satu diagnosis banding. Umumnya, penderita penyakit ini sering melaporkan nyeri abdomen bagian atas epigastrum/uluhati yang dapat ataupun regurgitasi asam. Kemungkinan lain, irritable bowel syndrome (IBS) yang ditandai dengan nyeri abdomen (perut) yang rekuren, yang berhubungan dengan buang air besar (defekasi) yang tidak teratur dan perut kembung.

Kurang lebih sepertiga pasien dispepsia fungsional memperlihatkan gejala yang sama dengan IBS. Sehingga dokter harus selalu menanyakan pola defekasi kepada pasien untuk mengetahui apakah pasien menderita dispepsia fungsional atau IBS. Pankreatitis kronik juga dapat dipikirkan. Gejalanya berupa nyeri abdomen atas yang hebat dan konstan. Biasanya menyebar ke belakang.

Obat-obatan juga dapat menyebabkan sindrom dispepsia, seperti suplemen besi atau kalium, digitalis, teofilin, antibiotik oral, terutama eritromisin dan ampisilin. Mengurangi dosis ataupun menghentikan pengobatan dapat mengurangi keluhan dispepsia. Penyakit psikiatrik juga dapat menjadi penyebab sindrom dispesia. Misalnya pada pasien gengan keluhan multisistem yang salah satunya adalah gejala di abdomen ternyata menderita depresi ataupun gangguan somatisasi. Gangguan pola makan juga tidak boleh dilupakan apalagi pada pasien usia remaja dengan penurunan berat badan yang signifikan.

Diabetes Mellitus (DM) dapat menyebabkan gastroparesis yang hebat sehingga timbul keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, mual, dan muntah. Lebih jauh diabetik radikulopati pada akar saraf thoraks dapat menyebabkan nyeri abdomen bagian atas. Gangguan metabolisme, seperti hipotiroid dan hiperkalsemia juga dapat menyebabkan nyeri abdomen bagian atas. Penyakit jantung iskemik kadang-kadang timbul bersamaan dengan gejala nyeri abdomen bagian atas yang diinduksi oleh aktivitas fisik.

Nyeri dinding abdomen yang dapat disebabkan oleh otot yang tegang, saraf yang tercepit, ataupun miositis dapat membingunkan dengan dispepsia fungsional. Cirinya terdapat tenderness terlokalisasi yang dengan palpasi akan menimbulkan rasa nyeri dan kelembekan tersebut tidak dapat dikurangi atau dihilangkan dengan meregangkan otot-otot abdomen.

Dispepsia Fungsional

Terdapat bukti bahwa dispepsia fungsional berhubungan dengan ketidaknormalan pergerakan usus (motilitas) dari saluran pencernaan bagian atas (esofagus, lambung dan usus halus bagian atas). Selain itu, bisa juga dispepsia jenis itu terjadi akibat gangguan irama listrik dari lambung atau gangguan pergerakan (motilitas) piloroduodenal.

Beberapa kebiasaan yang bisa menyebabkan dispepsia adalah menelan terlalu banyak udara. Misalnya, mereka yang mempunyai kebiasaan mengunyah secara salah (dengan mulut terbuka atau sambil berbicara). Atau mereka yang senang menelan makanan tanpa dikunyah (biasanya konsistensi makanannya cair).

Keadaan itu bisa membuat lambung merasa penuh atau bersendawa terus. Kebiasaan lain yang bisa menyebabkan dispesia adalah merokok, konsumsi kafein (kopi), alkohol, atau minuman yang sudah dikarbonasi.

Mereka yang sensitif atau alergi terhadap bahan makanan tertentu, bila mengonsumsi makanan jenis tersebut, bisa menyebabkan gangguan pada saluran cerna. Begitu juga dengan jenis obat-obatan tertentu, seperti Obat Anti-Inflamasi Non Steroid (OAINS), Antibiotik makrolides, metronidazole), dan kortikosteroid. Obat-obatan itu sering dihubungkan dengan keadaan dispepsia.

Yang paling sering dilupakan orang adalah faktor stres/tekanan psikologis yang berlebihan.

Penyakit Refluks Asam

Cukup sering ditemukan dispepsia akibat asam lambung yang meluap hingga ke esofagus (saluran antara mulut dan lambung). Karena saluran esofagus tidak cukup kuat menahan asam -yang semestinya- tidak tumpah, karena pelbagai sebab, pada orang tertentu asam lambung bisa tumpah ke esofagus dan menyebabkan dispepsia. Dispepsia jenis itu bisa menyebabkan nyeri pada daerah dada.

Diagnosis

Mencari tahu sebab (diagnosis) dari dispepsia tidaklah mudah. Dalam dunia kedokteran, diagnosis harus ditegakkan dulu sebelum memberi pengobatan. Dalam hal itu pengobatan dispepsia boleh dibilang relatif sukar karena untuk mengetahui dengan pasti penyebab penyakit itu relatif tidak gampang.

Dokter harus dengan saksama membedakan antara dispepsia yang mempunyai ulkus dan yang tidak, antara dispepsia fungsional dan dispepsia organik. Beberapa hal yang bisa dijadikan petunjuk oleh para dokter, yaitu sebagai berikut :

  • Penelitian yang besar menunjukkan bahwa secara statistis nyeri ulu hati yang terjadi pada malam hari dan berkurang dengan pemberian antasid, cenderung dihubungkan dengan luka pada lambung (peptic ulcer).
  • Pada dispepsia non-ulkus, tidak terjadi komplikasi dari perdarahan seperti kurang darah, penurunan berat badan atau muntah-muntah.
  • Nyeri atau ketidaknyamanan akibat Irritable Bowel Syndrome dapat terjadi pada ulu hati. Untuk membedakannya dengan dispepsia adalah dengan memperhatikan pola buang air besar.


Dengan pemeriksaan fisik saja, sangat sukar membedakan dispepsia ulkus dan non-ulkus.

Pengobatan

Intervensi dini terhadap sakit maag yaitu dengan mengonsumsi obat yang bisa menetralkan atau menghambat produksi yang berlebihan dari asam lambung (jenis antasid). Bisa juga diberikan obat yang memperbaiki motilitas lambung. Apabila setelah dua minggu obat yang diberikan tidak bermanfaat, biasanya dokter akan memeriksa dengan peralatan khusus.

Pengobatan Dispepsia

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pasien, tindakan dokter adalah sebagai berikut :

  • Jika mempunyai ulkus, dapat diobati dan akan diberikan antasid atau sejenisnya. Jika mengalami infeksi (terutama oleh H Pylori), perlu diberi antibiotika.
  • Jika dokter berpikir bahwa ada obat yang sedang Anda konsumsi menyebabkan dispepsia, Anda akan diberi obat lain.
  • Obat yang bisa mengurangi kadar asam di lambung Anda bisa sangat membantu. Obat itu juga bisa membantu jika Anda mengalami penyakit refluks asam.
  • Pemeriksaan Endoskopi bisa dilakukan jika sebagai berikut:
  • Anda masih mengalami nyeri pada lambung meskipun telah minum obat dispepsia selama delapan minggu
  • Nyeri berkurang atau hilang sesaat untuk kemudian muncul kembali


Endoskopi

Pemeriksaan endoskopi adalah suatu pemeriksaan untuk melihat keadaan lambung Anda. Caranya, dengan memasukkan suatu slang berkamera ke mulut terus hingga ke lambung. Dengan demikian, dokter bisa melihat bagian dalam lambung untuk mencari tahu apa penyebab nyeri yang Anda derita. Tentu untuk itu Anda perlu minum cairan penghilang nyeri (anestesi) dan bersikap pasrah saat slang itu dimasukkan. Bagi penderita dispepsia, janganlah lupa mengonsumsi obat-obatan yang diberikan dokter. Jika diperlukan antibiotika, minum antibiotika tersebut sampai habis meskipun Anda merasa lebih baik.

Melihat banyaknya penyakit dasar yang bermanifestasi dalam bentuk keluhan dispepsia, diperlukan suatu perhatian pendekatan diagnostik yang baik. Terutama untuk menyingkirkan atau menegakkan penyebab yang dapat menimbulkan morbiditas yang berat bahkan kematian. Berbagai sarana penunjang dapat dipakai untuk mencari penyebab dispepsia. Selain keadaan klinik yang ditunjang pemeriksaan laboratorium dan radiologi, pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas memegang peran yang sangat penting.

Alat endoskopi saat ini dibuat semakin lentur/fleksibel dan diameter yang lebih kecil. Gambar yang dihasilkan makin baik memungkinkan pemeriksaan ini berlangsung dengan nyaman dan komplikasi yang sangat minim. Dari pengalaman pemeriksaan endoskopi 223 pasien (setelah evaluasi klinis lainnya) pada penderita dispepsia di RSUD Tugurejo Semarang 2003 didapatkan sekitar 80% adanya lesi organik di saluran cerna bagian atas. Hal ini jauh berbeda dengan data kepustakaan di luar negeri (30-40%).

Dengan alat edoskop ini dapat pula lakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi dan menentukan ada/tidaknya kuman Hp. Perkembangan teknologi memungkinkan penggunaan endoskopi semakin luas, misalnya pengambilan polip, pengambilan benda asing yang tertelan, menghentikan perdarahan saluran cerna dan untuk pemberian nutrisi, ERCP (Endoskopi Retrograde Cholangio Pancreotorgraphi), Endoskopi ultrasonographi (USG Endoskopi) dan pengambilan batu saluran empedu



dr Widodo Judarwanto SpA, Children Allergy clinic dan Picky Eaters Clinic Jakarta. Phone 5703646   0817171764 – 70081995.

email : judarwanto@gmail.com,

KORAN INDONESIA SEHAT
Yudhasmara Publisher
Jl Taman Bendungan Asahan 5 Jakarta Pusat
Phone : (021) 70081995 – 5703646

Sumber

0 comments:

Post a Comment