Gold Price

Category

Search This Blog

Wednesday, March 30, 2011

Harapan bagi yang Tak Bisa Bergerak



--  Kompas.com  --  Oleh Agnes Aristiarini


”However bad life may seem, there is always something you can do, and succeed at. While there's life, there is hope" (Betapapun buruknya hidup, selalu ada sesuatu yang bisa dikerjakan, dan sukses. Di mana ada kehidupan, di situ ada harapan.)


Tak hanya kejeniusan kosmolog dan fisikawan Inggris itu yang menginspirasi para ilmuwan. Ketegaran Stephen Hawking (69) menghadapi amyotropic lateral sclerosis turut menumbuhkan harapan bagi mereka yang tak lagi bebas bergerak.


Sklerosis mulai muncul ketika Hawking berusia 20 tahun. Saat itu ia tengah menyelesaikan kuliah fisika di University College, Oxford. Penyakit yang tidak bisa disembuhkan ini menyerang sel-sel saraf dan perlahan menggerogoti mobilitasnya. Meski kemampuan berpikir tak terpengaruh dan tak ada rasa sakit, menyaksikan tubuh semakin lamban bergerak sangatlah menjatuhkan mental.


Lumpuh total ketika berusia 32 tahun dengan suara yang makin tidak jelas, Hawking masih bisa mendikte sekretaris untuk membuat tulisan ilmiah, mengajar, bahkan membimbing mahasiswa. Namun, ketika suaranya hilang dalam operasi pneumonia tahun 1985, Hawking hanya bisa berkomunikasi dengan mengangkat alis saat orang menunjuk huruf yang ia perlukan.


Terima kasih kepada Walt Woltosz, ahli komputer dari California, Amerika Serikat, yang begitu mendengar masalah Hawking langsung mengirim program komputer Equalizer. Seperti dikisahkan Inspire Minds, program ini memungkinkan seseorang memilih kata di layar dengan menggunakan tangan atau gerakan mata. Kalimat dan paragraf yang sudah tersusun bisa dikirim ke mesin bicara (speed synthesizer) atau printer.


David Mason dari Cambridge Adaptive Communication menyempurnakan program itu dengan memasang komputer dan mesin bicara ke kursi roda Hawking. Ia tidak hanya kembali mudah berkomunikasi, tetapi juga mampu menulis buku dan berpartisipasi dalam diskusi. Bukunya yang terus dicetak ulang, A Brief History of Time, direvisi setelah ia mendapat suara elektronik.


Kini dengan semakin berkembangnya pengetahuan, komputer tak lagi dikendalikan dengan mata. Suatu perangkat elektronik yang ditanam di otak mampu meneruskan perintah otak untuk menggerakkan kursor komputer. Bahkan, seperti dilaporkan NewScientist, perangkat elektronik itu masih berfungsi baik setelah 1.000 hari.


Meski subyek penelitian bukan penderita sklerosis, dampaknya sama: lumpuh seluruh anggota badan dan pita suara yang disebut tetraplegia. Penyebabnya adalah stroke batang otak yang menyerang pada pertengahan tahun 1990-an.


Penerus perintah otak


Dengan kode S3, perempuan yang menjadi sukarelawan penelitian tersebut dipasangi kumpulan elektroda silikon sebesar pil aspirin oleh para peneliti dari Brown University di Providence, Rhode Island; Pusat Kedokteran Providence VA, dan Rumah Sakit Massachusetts, semua di AS. Elektroda berfungsi meningkatkan kualitas komunikasi dengan dunia luar.


Ditemukan oleh kelompok peneliti dari BrainGate, kumpulan elektroda tersebut merupakan kombinasi peranti lunak dan peranti keras yang dipasang di bagian motor cortex dengan mengebor tengkorak. Motor cortex adalah bagian tengah otak yang berfungsi mengontrol gerak tubuh. Operasi ini sangat berisiko karena bisa memicu infeksi atau kerusakan otak.


Namun, begitu terpasang dengan benar, kumpulan elektroda mampu mendeteksi langsung sinyal dari neuron otak pengontrol gerakan. Kemampuan elektroda meneruskan sinyal-sinyal neuron membantu mereka yang terkena kelumpuhan menggerakkan perangkat eksternal, seperti komputer, kursi roda, dan tentu saja anggota badan bionik.


Sepanjang 1.000 hari, S3 telah memanfaatkan elektroda untuk melakukan dua hal: mengarahkan dan mengklik kursor, tidak dengan tangan, tetapi dengan pikiran.


Tugas pertama S3 adalah menggerakkan kursor pada layar komputer menuju target yang disiapkan dalam lingkaran dan memilihnya satu demi satu. Tugas berikutnya adalah mengejar dan kemudian mengunci target dalam berbagai ukuran yang dibuat bergerak secara acak di layar.


Hingga kini perangkat elektronik masih terpasang di otak S3 dan berfungsi baik. Ia bahkan bersemangat untuk berpartisipasi dalam program penelitian berikutnya.


Leigh Hochberg, dosen tamu bidang neurologi di Harvard Medical School dan Direktur BrainGate, mengatakan, keberhasilan itu membuktikan tidak ada sesuatu yang mustahil.


”Teknologi telah mewujudkan harapan untuk memperbaiki kualitas hidup. Terbukti seseorang yang anggota tubuhnya sudah tidak berfungsi, sudah tidak dapat berbicara, kini mampu mengontrol kursor komputer di luar tubuhnya,” katanya.


Memang para peneliti mengaku perangkat elektronik ini belum sepenuhnya berfungsi baik. Beberapa elektroda masih salah merekam sinyal otak meski telah enam bulan dipasang. Namun, setelah mengobservasi, mereka menyimpulkan bahwa masalah mungkin terkait dengan proses produksi.


Tidaklah mengherankan bila John Simeral, asisten profesor perekayasaan dari Brown University, menjanjikan upaya peningkatan sensitivitas perangkat dalam uji coba berikutnya. ”Yang penting, tujuan kami membantu mereka yang lumpuh terlaksana,” ujar Simeral.


Kesimpulannya, hasil penelitian itu sungguh menggembirakan karena menjadi tahap awal ke pengembangan fungsi yang lebih luas. Jurnal ilmiah Nature, misalnya, mengungkap bagaimana elektroda yang dipasang di otak Matt Nagle berperan jauh lebih besar.


Naggle yang lumpuh dari leher ke bawah gara-gara beberapa tusukan pisau sudah mampu menggerakkan lengan bioniknya, mengecek surat elektronik, bahkan memainkan berbagai games di komputer hanya dengan pikiran.


Tampaknya tak lama lagi mereka yang terpaksa menggunakan protese, kursi roda, bahkan terbaring di tempat tidur, bakal punya beragam aktivitas. Seperti Stephen Hawking yang tak membiarkan keputusasaan melanda, mereka bisa memanfaatkan teknologi menuju puncak kejayaan.


Sumber

0 comments:

Post a Comment