Category
ACCOUNTING
(1)
AUTOMOTIVE
(4)
COMPUTER
(82)
EBOOK
(1)
ELECTRONICS
(5)
ENVIRONMENT
(1)
FINANCIAL
(1)
HEALTH
(265)
INFO
(6)
LAW
(1)
MANAGEMENT
(8)
MOBILE DEVICES
(14)
MORAL STORIES
(62)
NETWORK
(2)
OTHERS
(24)
PHILOSOPHY
(1)
PSYCHOLOGY
(19)
SCIENCE
(6)
Search This Blog
Saturday, May 26, 2012
Meledakkan Kemelekatan
By Gede Prama
Kebenaran itu mengerikan, mungkin itu warna dominan interaksi antarmanusia di awal abad 21. Yakin benar kemudian melakukan pembunuhan. Amerika Serikat dkk yakin benar maka berani menyerang Afghanistan dan Irak. Teroris yakin benar maka bom diledakkan. India-Pakistan, Palestina-Israel, Korea Utara-Korea Selatan hanyalah contoh bagaimana kebenaran diikuti kebencian.
Sehingga dalam totalitas jadilah kebenaran berwajah mengerikan. Bila ditelusuri, ideologi dan agama khususnya kerap digunakan sebagai baju luar dari badan asli yang bernama kemelekatan. Ada kemelekatan harga diri, ketidakadilan, dendam. Dan inilah yang menghasilkan kehidupan mengerikan.
Meledakkan kemelekatan
Di Timur sudah lama disadari kalau kemelekatan adalah awal kemelaratan. Karena itulah dalam sebagian kearifan Timur, kemelekatan menjadi fokus yang diledakkan. Zen adalah salah satunya.
Dari segi sejarahnya, bibit Zen berasal dari India, tumbuh di China, berbunga di Jepang. Ada yang mengkaitkan Zen dengan Buddha, ada yang tanpa embel-embel agama. Dan apa pun keterkaitannya, Zen bertemakan yang satu: meledakkan kemelekatan. Mungkin karena berbunga di Jepang, kemudian hampir semua yang diledakkan Zen berbau Buddha.
Zen sebenarnya lebih cocok dengan jiwa yang sudah dewasa. Namun karena kedewasaan mudah tergelincir pada kemelekatanlah, maka dibutuhkan peledakan. Dan dalam sejarah Zen, banyak guru yang mengalami pencerahan setelah diledakkan oleh cerita-cerita Zen seperti di bawah.
Bagi jiwa yang kearifannya masih memerlukan banyak pertumbuhan, Zen bisa mengundang ketersinggungan. Untuk itulah, tulisan ini belum-belum sudah minta maaf. Memaafkan adalah salah satu sifat mulia Buddha dan tokoh suci lainnya.
Mari mulai dengan cerita Zen pertama. Suatu hari ada pendeta Zen yang kedinginan. Semua kayu bakar sudah habis. Dengan enteng diambil patung Buddha dari kayu kemudian dibakar. Kontan saja ini mengundang marah orang: berani-beraninya membakar patung Buddha? Pendeta ini menjawab: ‘Yang masih bisa terbakar bukan Buddha’.
Tidak saja dalam Zen, di banyak negara keseharian manusia ditandai oleh mudah terbakarnya emosi gara-gara agama dll. Karena berbagai faktor, ada manusia yang demikian melekat dengan agama. Sedikit-sedikit tersinggung. Sehingga jadilah agama bukan sebagai sumber kesejukan, melainkan sumber api yang membakar. Dengan indah kemelekatan ini diledakkan: ‘yang masih bisa terbakar hanyalah kepalsuan’.
Cerita Zen kedua, suatu kali ada raja yang telah membangun tidak terhitung jumlah tempat ibadah datang ke Bodhidharma. Dengan bangga raja ini bertanya: saya sudah membangun ratusan tempat ibadah, berapa pahalanya? Tanpa menoleh Bodhidharma menjawab: ‘tidak ada pahala-pahalaan!’.
Inilah persoalan kekinian. Berbuat namun melekat. Tentu saja ada pahala. Karena ini hukum alam. Namun melekat kalau tindakan harus diikuti pahala, maka bertindak membuat pelakunya tidak bebas, kotor dengan ego, salah-salah kecewa. Ini yang diledakkan Bodhidharma dengan: ‘berbuat, lepas, ikhlas’.
Cerita Zen ketiga. Suatu hari dua pendeta Zen berjalan di tengah hutan. Tiba-tiba pendeta Zen yang lebih tua mau kencing. Dengan tanpa beban pendeta tua ini kencing di sebelah patung Buddha. Tentu saja yang muda marah. Tanpa menoleh seinchi pun pendeta tua tadi bertanya: tunjukkan saya tempat di mana tidak ada Buddha? Tentu saja dijawab standar kalau semua tempat adalah Buddha. Dengan enteng pendeta tua bertanya balik: kalau begitu saya kencing di mana dong?
Menganggap atribut agama sebagai sesuatu yang suci tentu baik. Namun melekat berlebihan pada konsep kesucian, kemudian memproduksi kekotoran batin , tentu layak direnungkan. Terutama karena kesucian tidak diciptakan untuk menghasilkan kemarahan/permusuhan.
Lebih-lebih kalau konsep kesucian menghasilkan pembunuhan. Kesucian juga mengerikan. Kemelekatan ini yang diledakkan cerita Zen ketiga: kesucian ada karena ada kekotoran, tanpa kekotoran kesucian menghilang. Totalitas dari keduanya itulah yang membebaskan.
Cerita Zen keempat paling banyak dikenal. Sudah lama orang disuruh bertanya: bagaimana suara tepuk tangan yang dilakukan oleh sebelah tangan? Kendati sudah berumur ratusan tahun, sampai kini pun pertanyaan ini masih terbuka. Seperti menitipkan makna, tidak semua pertanyaan bisa dijawab pikiran.
Bila ada sesuatu yang belum bisa dimengerti, kemungkinan ia jauh di atas kemampuan pikiran untuk bisa mengerti. Atau sebaliknya, terlalu sederhana untuk bisa memuaskan kerumitan pikiran. Penghakiman berlebihan membuat pertumbuhan terhenti. Untuk itulah, ia diledakkan: biarkan terbuka, masuki gerbang kebebasan.
Menghasilkan keindahan
Mungkin karena terlepas bebas dari kemelekatanlah kemudian sejumlah sahabat Sufi membingkai hidupnya dengan keindahan. Praktisi Sufi Hazrat Hinayat Khan dalam The Heart of Sufism menulis: ‘indifference and independence are two wings which enable the soul to fly‘. Ketidakmelekatan serta kebebasan adalah dua sayap yang membuat jiwa terbang.
Wayne W. Dyer dalam Spiritual Solutions, mengulas doa Santo Franciscus yang amat indah. Lord, make me an instrument of Thy peace..where there’s hatred, let me sow love….where there’s sadness, joy. Hidup jadi indah, indah, indah dan indah bila menerapkan doa-doa ini.
Murid-murid di jalan advaita vedanta sudah lama diajari untuk terfokus hanya pada sat cit ananda (kebenaran, kesadaran, keindahan abadi) sebagai fokus perjalanan. Sederhananya, keindahan adalah hasil ikutan ditemukannya kebenaran serta dipraktekkannya kesadaran. Di samping itu, keindahan adalah ibunya kebersatuan.
Buddha Gautama telah lama berpesan: babarkan Dharma yang indah di awal, indah di tengah, indah di akhir. Buddhadasa pernah mengajarkan, inti ajaran Buddha adalah melihat semua sebagaimana adanya. Bila semua sudah sempurna sebagaimana adanya, bukankah kehidupan adalah keindahan?
Di penghujung cerita meledakkan kemelekatan menghasilkan keindahan, layak direnungkan kembali, wajah kebenaran dan kesucian yang mengerikan. Zen sudah meledakkan kemelekatan sebagai inti semua ini. Setelah kemelekatan diledakkan, ternyata oleh keikhlasan dibukakan keindahan. Ini sebabnya orang-orang di jalan ini berbisik: ‘God is beautiful, that’s why He loves beauty‘. Ini yang kerap disebut the religion of beauty. Mudah-mudahan keindahan tidak menjadi kemelekatan baru.
Sumber
Labels:
MORAL STORIES
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment